- Berita.Lagioke.Net

DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN POKOK BERBASIS
POTENSI LOKAL DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN
PANGAN RUMAHTANGGA PEDESAAN
DI KECAMATAN SEMIN KABUPATEN GUNUNG KIDUL

Ni Made Suyastiri Y.P

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian

Fakultas Pertanian UPN “Veteran ’’ Yogyakarta

Absract

The purpose of the research is to inspect and analyze factors which influence consumption diversification system based on local potential to create village housing food tenacity. This research uses descriptive method with survey implementation method. Research area determination uses purposive method and housing sample is taken by proportional stratified random sampling with 50 housing sample.

The result of this research indicate that staple food based on local potential is still dominated by rice followed by cassava and corn. Staple food diversification system is rice, and substitution rice like corn which follows rice-corn, rice-cassava, and rice-corn-cassava pattern in consumption. Factors which influence housing consumption diversification system is food’s price, household income, and number offamily member



Keywords: diversification, consumption, staph

PENDAHULUAN

Dalam konteks Indonesia keaneka- ragaman konsumsi pangan sering diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh penambahan konsumsi bahan pangan non beras. Salah satu alasan pentingnya diversifikasi pangan bahwa dalam lingkup nasional pengurangan konsumsi beras akan memberikan dampak positif terhadap ketergantungan impor beras dari negara lain.

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kecukupan pangan menentukan kualitas sumber daya manusia dan ketahanan bangsa. Oleh karena itu untuk food

membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, pangan harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, merata, aman, bermutu, bergizi, beragam, dan dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Indonesia kaya beraneka ragam sumber bahan pangan baik nabati maupun hewani guna pemenuhan kebutuhan gizi untuk kesehatan masayarakat. Umumnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok sebagai sumber karbohidrat, sehingga ketergantungan pada beras semakin besar.

Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia memberi pelajaran bahwa ketahanan pangan harus diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional, karena ketergantungan impor menyebabkan kerentanan terhadap gejolak ekonomi, sosial dan politik. (Juarini, 2006).

Salah satu kebijakan pemerintah di bidang konsumsi pangan yaitu mening- katkan penganekaragaman konsumsi pangan. Kebijakan ini tidak hanya ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada beras, tetapi juga dimaksudkan untuk mengubah pola konsumsi masyarakat agar mengkonsumsi bahan pangan yang ber- anekaragam dan lebih baik gizinya.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam pengertian tersebut pemenuhan kebutuhan pangan dapat disediakan melalui hasil produksi dalam negeri atau impor. Akan tetapi, kita tentu berpendapat bahwa kebutuhan pangan nasional perlu dipenuhi secara mandiri dengan memberdayakan modal alam, modal manusia, modal sosial dan modal ekonomi yang dimiliki bangsa Indonesia, yang pada gilirannya harus berdampak pada pening- katan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Ketahanan pangan yang didukung oleh pangan impor sangat berisiko bagi keberlangsungan ketahanan pangan itu sendiri.

Pola konsumsi masyarakat pada masing-masing daerah berbeda-beda, ter- gantung dari potensi daerah dan struktur budaya masyarakat. Pola konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh padi-padian, khususnya beras, yang diindi- kasikan oleh tingginya starchy staple ratio. Masyarakat umumnya mempunyai ketergantungan yang kuat terhadap beras sebagai sumber karbohidrat dan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras maka perlu menggali potensi lokal yang berbasis non beras untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

Pada saat mendatang diharapkan akan terwujud pola konsumsi pangan masyarakat yang bergizi, beragam dan berimbang berbasis potensi lokal yang bermuara pada terwujudnya ketahanan pangan yang berkelanjutan. Oleh karenanya diversifikasi konsumsi pangan potensi lokal menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera diupayakan.

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pola diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis potensi lokal pada rumahtangga pedesaan, mengkaji hubungan pendapatan rumahtangga dengan konsumsi pangan pokok, dan menganalisa faktor- faktor yang mempengaruhi pola diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis potensi lokal dalam mewujudkan ketahanan pangan rumahtangga pedesaan.

TINJAUAN PUSTAKA Diversifikasi Pangan Rumahtangga

Diversifikasi bahan pangan meru- pakan suatu proses pemilihan pangan yang tidak tergantung pada satu jenis pangan saja tetapi lebih terhadap berbagai bahan pangan mulai dari aspek produksi, aspek peng- olahan, aspek distribusi, hingga aspek konsumsi pangan pada tingkat rumahtangga (Tampubolon, 1998). Diversifikasi pangan ditujukan pada penganekaragaman pangan yang berasal dari pangan pokok dan semua pangan lain yang dikonsumsi rumahtangga termasuk laukpauk, sayuran, buah-buahan. Hal ini dimaksudkan bahwa semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizi.

Konsumsi pangan rumahtangga merupakan kebutuhan anggota rumahtangga terhadap pangan yang bertujuan untuk memantapkan ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Ketahanan pangan meliputi konsumsi pangan yang cukup terkait dengan kuantitas dan kualitas pangan. Dalam hal ini, kualitas pangan lebih ditujukan kepada aspek gizi yang didasarkan pada diversifikasi pangan karena pada hakekatnya tidak ada satupun jenis pangan yang mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan cukup. Adapun kuantitas pangan lebih ditinjau dari sisi volume pangan yang dikonsumsi dan zat gizi yang dikandung pangan (Departemen Pertanian, 1999).

Diversifikasi pangan merupakan hal yang sangat penting karena (1) dalam lingkup nasional pengurangan konsumsi beras akan memberikan dampak positif terhadap ketergantungan impor beras dari negara lain (2) diversifikasi konsumsi pangan akan merubah alokasi sumberdaya kearah yang efisien, fleksibel dan stabil kalau didukung oleh pemanfaatan potensi lokal (3) diversifikasi konsumsi pangan penting dilihat dari segi nutrisi untuk dapat mewujudkan Pola Pangan Harapan.

Pangan pokok merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi setiap orang pada berbagai tingkat pendapatan. Tingkat sosial ekonomi masyarakat yang berbeda- beda menuntut kuantitas dan kualitas (mutu) pangan berbeda. Pendapatan merupakan faktor utama yang menentukan perilaku rumahtangga dalam melakukan pola konsumsi pangan dan diversifikasi pangan. Secara umum dengan adanya kenaikan pendapatan akan memberikan peluang bagi masing-masing rumahtangga untuk melakukan diversifikasi konsumsi, meningkatkan kualitas bahan pangan pokok dalam upaya meningkatkan gizi keluarganya. Bagi rumahtangga yang memiliki pendapatan rendah maka sebagian besar pendapatan akan dialokasikan untuk membeli barang- barang kebutuhan primer. Pola konsumsi pada rumahtangga yang berpendapatan rendah lebih mengarah pada pangan pokok yang berbasis potensi lokal, dan variasi pangan kurang mendapat perhatian sehinga pemenuhan gizinya masih perlu diper- tanyakan. Berbeda dengan rumahtangga yang berpendapatan tinggi mereka cenderung untuk mengkonsumsi pangan yang bervariasi dan meningkatkan kualitas pangannya dengan cara membeli bahan pangan yang nilai gizinya lebih tinggi.

Hukum Engel menyatakan bahwa rumahtangga berpendapatan rendah akan mengeluarkan sebagian besar penda- patannya untuk membeli kebutuhan pokok. Sebaliknya, rumahtangga yang berpendapatan tinggi hanya akan membelanjakan sebagian kecil saja dari total pengeluaran untuk kebutuhan pokok. (Nicholson, 1991 exp 2001).

Peningkatan pendapatan akan me- nyebabkan penurunan permintaan terhadap pangan pokok dan akan meningkatkan permintaan terhadap pangan mewah. Hal ini menunjukkan adanya realokasi dari suatu pemusatan belanja konsumen ke bentuk pembelanjaan yang lebih menyebar sesuai dengan peningkatan pendapatan.

Teori yang mendasari analisis konsumsi yaitu teori pendekatan kurva indifferent (indifferent curve), yang mengasumsikan bahwa barang-barang yang dikonsumsi mempunyai nilai guna batas (utility).    Utility adalah    kepuasan    yang

diterima    dari barang    dan jasa    yang

dikonsumsi.

Konsumsi pangan merupakan    jumlah

pangan    (tunggal dan    beragam)    yang

dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Dalam aspek gizi, tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan adalah cara seseorang atau sekelompok orang memilih pangan dan memakannya sebagai reaksi terhadap pengruh-pengaruh psikologis, budaya dan sosial.

Menurut Riyadi (2003), menyatakan bahwa semakin tingginya tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki seseorang umumnya semakin tingi pula kesadaran untuk memenuhi pola konsumsi yang seimbang dan memenuhi syarat gizi serta selektif dalam kaitannya tentang ketahanan pangan.

Pola konsumsi pangan tergantung dari pendidikan rumahtangga, bahwa semakin tinggi pendidikan formal masyarakat maka pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya kualitas pangan yang dikonsumsi masyarakat untuk meningkatkan kesehatan akan menyebabkan semakin bervariasinya pangan yang dikonsumsi. Dengan bervari- asinya/berkeanekaragamnya pangan yang dikonsumsi tentunya kebutuhan gizi dan kesehatan diharapkan semakin baik.

Jumlah anggota rumahtangga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan berbasis potensi lokal. Semakin banyak jumlah anggota rumahtangga maka kebutuhan pangan yang dikonsumsi akan semakin bervariasi karena masing-masing anggota rumahtangga mempunyai selera yang belum tentu sama.

Ketahanan Pangan

Menurut UU No. 7/1996 tentang pangan. Dalam UU itu pembangunan pangan diletakkan dalam konsep ketahanan pangan {food security). Konsep yang diadopsi dari FAO di definisikan sebagai kemampuan negara memenuhi pangan (warganya). Ada empat pilar yang tertuang dalam konsep ini yaitu: aspek ketersediaan (food availibity),    aspek stabilitas

ketersediaan (stability of supplies), aspek keterjangkauan (access to supplies), dan aspek konsumsi pangan (food utilization).

WTO menyebut ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di pasar (availability of food in the market), pangan yang mengabdi kepada pasar. Konkritnya mewujud dalam beleid “memanen pangan di pasar (impor), daripada memanen di lahan (menanam sendiri). Impor pangan dalam jangka pendek bisa menjadi obat kelaparan dan dalam jangka panjang tak hanya menguras devisa, tetapi mengabaikan aneka sumberdaya lokal. Dalam penelitian ini pengkonsumsian pangan pokok lokal yang tidak hanya bergantung pada satu komoditas (beras) akan mampu mewujudkan ketahanan pangan pada rumahtangga pedesaan.

Ketahanan pangan, secara luas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kecukupan pangan masyarakat dari waktu ke waktu. Kecukupan pangan dalam hal ini mencakup segi kuantitas dan kualitas, baik dari produksi sendiri maupun membeli di pasar. Terwujudnya sistem ketahanan pangan tersebut akan tercermin antara lain dari ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta terwujudnya diversifikasi pangan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Pencapaian ketersediaan pangan harus memperhatikan aspek produksi, pengaturan dan pengelolaan stok atau cadangan pangan, serta penyediaan dan pengadaan pangan yang cukup. Ketahanan pangan harus menjaga mutu dan gizi yang baik untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Mutu dan gizi yang baik dihasilkan dari pangan yang beragam, bergizi, bermutu dan halal untuk dikonsumsi. Mutu pangan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia Indonesia.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sitematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi tertentu, termasuk hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. (Nazir, 1989).

Metode pelaksanaan penelitian menggunakan metode survai dengan meng- ambil lokasi penelitian di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Penentuan lokasi penelitian dengan purposive, penentuan lokasi secara sengaja dengan pertimbangan bahwa di daerah ini masyarakatnya terdapat variasi dalam mengkonsumsi bahan pangan pokok berbasis potensi lokal seperti beras, ketela pohon, jagung.

Pengambilan sampel rumahtangga dengan menggunakan metode proporsional stratified random sampling, yaitu meng- ambil sampel berdasarkan perbandingan antara sub populasi yang tidak sama jumlah- nya (Nawawi, 1999). Jumlah sampel yang diambil 50 rumahtangga. Sampel dikelom- pokkan menjadi 3 strata menurut tingkat pendapatannya.

Teknik analisis menggunakan analisis OLS (Ordinary Least Square) dalam multiple linier regression.    Guna

memperoleh keabsahan yang tinggi dalam model regresi yang digunakan, sebelum melakukan uji statistik terhadap hasil olahan regresi, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik sebagai dasar analisis regresi. Pengujian asumsi klasik dilakukan agar estimator-estimator yang diperoleh dengan metode OLS memenuhi syarat BLUE (Best Linear Unbiased Esimator). Pengujian asumsi klasik yang dilakukan terdiri dari pengujian terhadap multikolinearitas, heteroskedasitas dan autokolerasi. Model yang digunakan sebagai berikut:

  • = bo + bjIh + b2P + b3 S + b4 E + e Keterangan:

  • = Konsumsi pangan pokok pada

rumahtangga (Rp/kapita/th)

Ih = Pendapatan rumahtangga (Rp/ tahun)

P = Harga bahan pangan (Rp/kg) S = Jumlah anggota keluarga (jiwa) E = Pendidikan (tahun) bo = konstanta bi = koefisien regresi (i = 1,2,3,4) e = error term

Sebelum melakukan estimasi hasil, terlebih dahulu dilakukan uji ketepatan model yang telah dipergunakan yakni multikolinearitas, heteroskedasitas dan autokolerasi. Hasil analisis untuk model menunjukkan tidak diketemukan adanya multikolinearitas, heteroskedasitas dan autokolerasi yaitu tidak adanya nilai 0,8 atau lebih antara variabel bebasnya(independen). Begitu juga terbebas dari autokorelasi yang mempunyai nilai DW (Durbin-watson) yang masih masuk dalam daerah penerimaan.

PEMBAHASAN HASIL

Pola Diversifikasi Konsumsi Pangan Berbasis Potensi Lokal

Kecamatan Semin adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul yang memiliki potensi ketesediaan pangan pokok lokal yang beragam seperti beras, jagung, dan ketela pohon (ubi kayu). Saat ini luas lahan sawah mencapai 1.942,2 ha yang mampu menghasilkan padi sawah 78.738,80 ku, padi ladang sebesar 128.072,40 ku dan luas lahan paling banyak digunakan untuk tegalan yakni 3.491,8 ha yang mampu menghasilkan jagung 90.415,17 kw, ketela pohon sebesar 565.462,00 kw dan ketela rambat sebesar 1.152,00 kw.

Sebagian besar penduduk di daerah Semin, mengkonsumsi pangan pokok beras, ketela pohon dan jagung. Pada umumnya kalau musim panen jagung, penduduk akan lebih banyak mengkonsumsi jagung dan bila panen ketela pohon biasanya mereka akan lebih banyak mengkonsumsi ketela pohon daripada jagung. Ketela pohon biasanya dikonsumsi dalam bentuk tiwul yang merupakan salah satu bentuk olahan dari ketela pohon. Dalam mengkonsumsi beras dan tiwul biasanya masyarakat mencam- purnya secara bersama-sama kemudian menjadi nasi uleg yaitu campuran tiwul dan nasi dengan perbandingan 2: 1. Sedangkan untuk nasi jagung digemari oleh sebagian kecil masyarakat mengingat proses pembuatannya lebih lama. Masyarakat lebih banyak menggemari campuran nasi dengan tiwul disamping proses pembuatan lebih mudah juga harganya relatif lebih murah.

Di daerah penelitian ada 3 jenis pangan pokok yang dikonsumsi oleh masayarakat pedesaan yaitu beras, ketela pohon dan jagung dengan pola konsumsi yang berbeda-beda. Pola konsumsi pangan pokok di kecamatan Semin meliputi: (1) pola beras, (2) pola beras - jagung, (3) pola beras - ketela pohon, dan (4) beras - ketela pohon - jagung.

Berdasarkan Tabel 1, menunjukkan adanya diversifikasi pangan pokok berbasis potensi lokal dan beras masih mendominasi dibanding pangan pokok lainnya. Pola diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis potensi lokal seperti pola beras - ketela paling banyak digemari (48 %) disamping proses pembuatan lebih mudah juga harganya relatif lebih murah.

Tabel 1: Pola Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok pada Rumahtangga di Kecamatan Semin

Pola Pangan Pokok

Persentase

(%)

Beras

14,00

Beras - jagung

16,00

Beras - ketela pohon

48,00

Beras - jagung-ketela pohon

22,00


Sebaliknya pola beras - jagung hanya digemari oleh sebagian kecil rumahtangga (16%) mengingat proses pembuatannya lebih lama. Pola diversifikasi konsumsi pangan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan pada beras menuju pola pangan beragam, berimbang dan bergizi.

Pangan pokok adalah penyumbang kalori yang sangat besar dalam menu makanan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia termasuk rumahtangga pedesaan di Kecamatan Semin. Rata-rata konsumsi pangan pokok berbasis potensi lokal disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2: Konsumsi Pangan Pokok pada Rumahtangga Pedesaan di Kecamatan Semin

Pangan Pokok

Konsumsi (kg/kapita/tahun)

Beras

548,64

Ketela Pohon

64,89

Jagung

19,11


Pada Tabel 2, ketela pohon merupakan pangan pokok yang terbanyak dikonsumsi oleh rumahtangga pedesaan di daerah penelitian yakni sebanyak 594,89 kg/perkapita/tahun, sedangkan pangan pokok yang paling sedikit dikonsumsi adalah jagung sebanyak 190,11 kg/kapita/tahun. Pemenuhan konsumsi pangan pokok dengan dikonsumsinya jagung maupun ketela pohon sebagai pangan pokok selain beras akan mampu mengurangi ketergantungan pada beras sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan pada rumahtangga pedesaan.

Hubungan Pendapatan Rumahtangga dan Konsumsi Pan gan Pokok

Tingkat sosial ekonomi masyarakat yang berbeda-beda menuntut kuantitas dan kualitas (mutu) pangan berbeda. Pendapatan rumahtangga merupakan faktor utama yang menentukan pola konsumsi pangan dan diversifikasi pangan. Konsumsi pangan pokok berbeda antar rumahtangga ter- gantung dari tinggi rendahnya tingkat pendapatan. Semakin tinggi pendapatan rumahtangga umumnya konsumsi akan semakin meningkat akan tetapi besarnya peningkatan pendapatan tidak selalu sama besar dengan peningkatan konsumsi. Tingginya tingkat pendapatan rumahtangga tidak selalu diikuti oleh peningkatan jumlah pangan pokok yang dikonsumsinya. Secara umum dengan adanya peningkatan pendapatan akan memberi peluang bagi masing- masing rumahtangga untuk melakukan diversifikasi konsumsi untuk meningkatkan kualitas pangan pokok dalam upaya meningkatkan gizi keluarganya. Dalam penelitian ini, pendapatan rumahtangga di kelompokkan menjadi 3 yaitu pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Rata-rata pendapatan rumahtangga (X) sebesar Rp. 4.116.121,02 dan standar deviasi pendapatan rumahtangga (Sd) sebesar Rp 1.287 .104,55 sehingga pengelompokan pendapatan rumahtangga sebagai berikut:

  • Pendapatan rendah yakni: X < Rp 2.829.016,47

  • Pendapatan sedang yakni Rp 2.829.016,47 < X < Rp 5.403.225,57

  • Pendapatan tinggi yakni X > Rp 5.403.225,57

Gambaran konsumsi pangan pokok menurut tingkat pendapatan rumahtangga disajikan pada Tabel 3.

Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada setiap tingkat pendapatan, pangan pokok yang banyak dikonsumsi adalah beras. Semakin tinggi tingkat pendapatan, konsumsi ketela pohon mengalami penurunan sedangkan untuk konsumsi jagung meningkat jumlahnya seiring dengan meningkatnya pendapatan.

Bagi rumahtangga yang bepen- dapatan rendah pola konsumsi pangannya mengarah pada pangan pokok yang berbasis potensi lokal, dan variasi pangan kurang mendapat perhatian sehinga pemenuhan gizinya masih perlu dipertanyakan. Berbeda dengan rumahtangga yang berpendapatan tinggi mereka cenderung untuk meng- konsumsi pangan yang bervariasi dan meningkatkan kualitas pangannya dengan cara membeli bahan pangan yang nilai gizinya lebih tinggi. Besar kecilnya konsumsi pangan pokok akan mem- pengaruhi besarnya pengeluaran rumahtangga. Rata-rata pengeluaran konsumsi pangan pokok rumahtangga menurut tingkat pendapatan (Tabel 4).



Tabel 3: Konsumsi Pangan Pokok Rumahtangga Menurut Tingkat Pendapatan di Kecamatan Semin

Tingkat Pendapatan

Konsumsi Pangan Pokok (kg/kapita/tahun)

Beras

Ketela Pohon

Jagung

Rendah

349,44

51,11

9,55

Sedang

610,92

78,33

19,44

Tinggi

562,50

35,00

28,75


Tabel 4: Pengeluaran Konsumsi Pangan Pokok menurut Tingkat Pendapatan di Kecamatan Semin

Tingkat Pendapatan

Beras

Ketela Pohon

Jagung

Total

Pengeluaran (Rp)

Rendah

806.666,67

34.555,55

9.555,55

850.777,77

Sedang

1.492.851,85

53.240,74

19.444,44

1.565.537,03

Tinggi

1.570.750,00

29.250,00

28.750,00

1.628.750,00



Dari Tabel 4, dapat diketahui bahwa pada setiap tingkat pendapatan, pengeluaran konsumsi pangan pokok terbesar adalah beras. Rata-rata pengeluaran konsumsi pangan pokok pada tingkat pendapatan rendah sebesar Rp. 850.777,78 dan pada tingkat pendapatan sedang sebesar Rp 1.565.537,03 serta pada tingkat pendapatan tinggi pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi pangan pokok sebesar Rp. 1.628.750 Semakin tinggi pendapatan rumahtangga maka semakin besar pula pengeluaran konsumsi pangan pokok.

Konsumsi pangan pokok berbeda antar rumahtangga tergantung dari tinggi rendahnya tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga maka orang tidak akan menambah kuantitas pangan pokok yang dikonsumsinya karena adanya kenaikan pendapatan akan memberi peluang bagi masing-masing rumahtangga untuk meningkatkan kualitas pangan pokok yang dikonsumsi agar dapat meningkatkan gizi keluarga atau bahkan mungkin akan membeli makanan lain sebagai pengganti pangan pokok, misalnya makanan siap saji sehingga semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin besar pengeluaran konsumsi pangan.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Lokal

Pendapatan Rumahtangga

Selain harga, pendapatan merupakan faktor utama yang menentukan prilaku rumah tanggga dalam konsumsi pangan. Pendapatan merupakan cermin dari daya beli sehingga kuantitas dan kualitas barang yang dapat dibeli juga tergantung dari daya beli. jumlah barang yang diminta/dikon- sumsi Semakin tinggi pendapatan rumahtangga maka kemampuan atau daya beli juga semakin meningkat baik dari sisi kuantitas maupun kualitas pangan yang dikonsumsi.

Pola konsumsi pangan tidak terlepas dari faktor sosial ekonomi artinya bagi rumahtangga yang bependapatan rendah pola konsumsi pangannya mengarah pada pangan pokok yang berbasis potensi lokal, dan variasi pangan kurang mendapat perhatian sehinga pemenuhan gizinya masih perlu dipertanyakan. Berbeda dengan rumahtangga yang berpendapatan tinggi mereka cenderung untuk mengkonsumsi pangan yang bervariasi dan meningkatkan kualitas pangannya dengan cara membeli bahan pangan yang nilai gizinya lebih tinggi.

Harga Pangan Pokok

Harga barang termasuk harga bahan pangan umumnya berfluktuasi dan cenderung meningkat. Perubahan harga bahan pangan akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi. Secara teoritis dikatakan bahwa bila harga turun maka jumlah barang yang diminta/di- konsumsi akan meningkat. Sebaliknya jika harga naik maka jumlah barang yang diminta/dikonsumsi akan mengalami penurunan dengan asumsi variabel-varibel lain yang mempengaruhi konsumsi konstan (tidak berubah). Demikian pula untuk bahan pangan kalau terjadi perubahan harga maka konsumsi bahan pangan akan berubah pula. Berdasarkan hasil analisis, harga bahan pangan berpengaruh terhadap konsumsi pangan lokal artinya naik turunnya harga bahan pangan akan mempengaruhi konsumsi pangan lokal. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji t diperoleh t hitung lebih besar dari t tabel. (Tabel 5).

Jumlah Anggota Rumahtangga

Jumlah anggota rumahtangga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan berbasis potensi lokal. Semakin banyak jumlah anggota rumahtangga maka kebutuhan pangan yang dikonsumsi akan semakin bervariasi karena masing-masing anggota rumahtangga mempunyai selera yang belum tentu sama.

Semakin banyak jumlah anggota rumahtanggga maka beban yang ditanggung rumahtangga akan semakin besar sehingga kepala rumahtangga berusaha untuk menambah pendapatannya guna mencukupi kebutuhan hidup rumahtangganya. Rata-rata jumlah anggota rumahtanggga adalah 4,3 artinya setiap kepala keluarga harus menanggung 4 anggota rumahtangga. Semakin banyak jumlah anggota rumahtangga, maka semakin besar pengeluaran rumahtangga termasuk pengeluaran untuk konsumsi pangan pokok.

Pendidikan

Pola konsumsi pangan tergantung dari pendidikan kepala rumahtangga, bahwa semakin tinggi pendidikan formal maka pengetahuan dan wawasan tentang pen- tingnya kualitas pangan yang dikonsumsi untuk meningkatkan kesehatan akan menye- babkan semakin bervariasinya pangan yang dikonsumsi. Dengan bervariasinya/ber- anekaragamnya pangan yang dikonsumsi tentunya kebutuhan gizi dan kesehatan diharapkan semakin baik.

Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel pendapatan rumahtangga (Ih), harga bahan pangan (P), Jumlah anggota keluarga (S) dan pendidikan (E) mempengaruhi terhadap pengeluaran konsumsi pangan yang merupakan indikator dari pola diversifikasi pangan pokok sebesar 0,62. Sedangkan sebesar 0,38 atau 38 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang belum dimasukkan dalam model. Pada tingkat kepercayaan 95 % sampai dengan 99% semua variabel secara bersama-sama adalah berpengaruh nyata. Hal ini ditunjukkan oleh hasil dari uji F diperoleh F hitung (9,7 3) lebih besar dari F tabel (5,18) berarti ada pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan uji t ternyata tiga (3) diantara empat (4) variabel yang dimasukkan dalam model estimasi, dengan asumsi variabel lain ceteris paribus menunjukkan pengaruh nyata yakni pendapatan rumahtangga, harga pangan dan jumlah anggota keluarga. Sedangkan pendidikan tidak berpengaruh nyata sampai pada taraf kesalahan 10%. Hasil penelitian menun- jukkan bahwa faktor-faktor yang mem- pengaruhi pola diversifikasi konsumsi pangan rumahtangga yang diestimasi dengan varibel besarnya pengeluaran bahan pangan pada rumahtangga selama satu tahun dipengaruhi oleh pendapatan rumahtangga, harga pangan dan jumlah anggota keluarga.

PENUTUP

Upaya mewujudkan ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras rumahtangga pede- saan di kecamatan Semin memanfaatkan sumberdaya lokal yaitu dengan menggali potensi lokal yang berbasis non beras untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Hal ini ditunjukkan oleh adanya variasi dalam pengkonsumsian pangan pokok yang berbasis potensi lokal.

Pola diversifikasi konsumsi pangan pokok yaitu beras, dan pangan pengganti beras seperti jagung yang dalam pengkonsumsiannya mengikuti pola beras - jagung, beras - ketela pohon dan beras - jagung - ketela pohon. Pola konsumsi tersebut walaupun masih didominasi oleh beras ternyata mampu mengurangi ketergantungan pada beras, dengan adanya pengkonsumsian pangan pokok yang berasal dari non beras seperti ketela pohon dan jagung. Konsumsi pangan pokok berbeda antar rumahtangga tergantung dari tinggi redahnya tingkat pendapatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pola diversifikasi konsumsi pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan pada rumahtangga pedesaan adalah pendapatan rumahtangga, harga pangan, dan jumlah anggota keluarga.



DAFTAR PUSTAKA

Agus Pakpahan dan Sri Hastuti Suhartini. (1989). ’’Permintaan rumahtangga kota di Indonesia terhadap keanekaragaman pangan”. Jurnal Agroekonomi. Vol. 8, No.2, Oktober.

Algifari. (2003). Statistik Induktif untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi II. UPP-AMP YKPN, Yogyakarta.

Bayu Krisnamurhi. (2006). “Penganekaragaman Pangan Sebuah Kebutuhan yang Mendesak”. Makalah Seminar Nasional Diversifikasi untuk Mendukung Ketahan Pangan.

Juarini. (2006). ”Kondisi dan Kebijakan Pangan di Indonesia”. Jurnal Dinamika Sosial Ekonomi. UPN “Veteran” Yogyakarta. Vol. 7 No. 2. Desember

Nazir M. (1998). Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Riyadi. (2003). Kebiasaan Makan Masyarakat dalam Kaitannya dengan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Prosiding Simposium Pangan dan Gizi serta Kongres IVBergizi dan Pangan Indonesia. Jakarta.

Tampubolon, P. (1998). Peranan Wanita dalam Menukseskan Upaya Diversifikasi Pangan. Searching Internet: htttp: //www. Unistuttgart.de/Indonesia/News/info.html

    . (2006). Tantangan Rekonstruksi Kebijakan Pangan Indonesia Yogyakarta: Forum studi Komunikasi Kebijakan dan Pusat Studi Asia Pasifik UGM.


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to " "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel